Thursday, May 9, 2019

ILALANG DI UJUNG SENJA episode 3



pinterest



Sudah berapa tahun dia tidak menjejakkan kaki di tanah kelahirannya itu. Banyak perubahan yang terjadi dalam 5 tahun ini. Kalau saja dia tidak melihat papan kayu terpanjang di jalan masuk desa, mungkin dia akan mengira salah jalan. Persawahan yang mengapit jalan utama desa hampir sebagian sudah hilang tergantikan bangunan – bangunan, jalan yang dulu berbatu dan berdebu kini sudah beraspal.

Ilalang melirik ke sebuah bukit. Di sana, dulu ada bangunan reyot rumahnya. Telah menjadi puing-puing 5 tahun lalu sebelum dia pergi dari desa. Dihelanya napas panjang dan berusaha membuang kenangan itu dari kepalanya dan terus mengemudikan mobil hitamnya menyusuri jalanan beraspal. Beberapa orang menoleh heran melihat mobil sebagus itu memasuki desa mereka, anak-anak kecil berlarian berusaha mengejar namun akhirnya berhenti terengah kecapekan.
Di balik bukit, jauh di ujung desa, Ilalang menghentikan mobilnya. Setelah memastikan tidak ada satu pun orang di sekitar sana, dia memakai kaca mata hitam dan turun membawa kantong plastik berwarna hitam di tangan kiri dan sebuket bunga lily kuning. Ilalang berjalan menyusuri jalan tanah berkerikil menuju komplek pemakaman desa. Setelah melewati semak belukar, di samping pohon pinus Ilalang berhenti. Menatap sejenak sebelum akhirnya duduk bersimpuh.
“Mbah…Simbah, Ilalang datang,” rintihnya pelan lalu tersedu.

-Flashback-
“ Usir pelacur itu!”
“Bakar! Bakar!”
“Jangan biarkan dia hidup!”
“Usir! Bakar! Bunuh!”
Teriakan-teriakan lantang warga menggema di kawasan tepi hutan yang biasanya sepi itu. Beberapa kali kerikil dan batu menghantam pintu, dinding semi permanen dan genteng rumah mereka. Pecahan genteng jatuh berhamburan ke lantai tanah, mengenai perabot dan menimbulkan suara dentang nyaring.Gendhis terisak meringkuk ketakutan di sudut kamar dalam pelukan Ilalang yang juga berusaha keras menutupi ketakutannya sendiri. Simbah dengan tubuh rentanya berusaha bangkit dari tempat tidur, namun Ilalang mencegahnya. Dia tidak ingin kondisi Simbah yang sedang sakit malah semakin parah.
“Gendhis, kamu jaga simbah, Mbak akan mencoba bicara dengan mereka,” bisik Ilalang yang langsung dipeluk lebih erat oleh Gendhis.
“Jangan Mbak, bahaya. Nanti mbak malah celaka,” cegah Gendhis panik. Teriakan – teriakan warga terasa mengerikan di telinganya.
“Tidak akan. Mbak yakin mereka tidak akan senekat itu. Mereka sudah mengenal mbak dari kecil. Ini hanya salah paham,” sahut Ilalang berusaha menenangkan Gendhis. Diusapnya air mata yang mengalir di pipi Gendhis dengan selendang merah yang melilit di lehernya.
“Mbak…!”
Ilalang melepaskan pelukan Gendhis dan berusaha menguatkan diri berjalan menuju pintu depan. Tangan simbah menggapai-gapai ingin mencegahnya keluar, tetapi Ilalang tak menghiraukannya. Dia sebenarnya tahu, sia-sia memaksa berbicara kepada warga yang sedang marah itu, tetapi kalau dia tak melakukannya tak akan menunggu lama untuk rumah ini roboh.
“Akhirnya keluar juga kamu! Bagus!! Sekarang kamu  harus pergi dari desa ini!” teriak seorang bapak setengah baya yang Ilalang kenali adalah orang tua salah satu teman sekelasnya.
“Kenapa saya harus pergi?? Saya tidak bersalah,” kata Ilalang berusaha menyembunyikan getar ketakutan dari suaranya.
“Masih saja berbohong. Jangan sok suci! Dasar pelacur!” teriak bapak itu lagi. Ilalang terkesiap mendengar tuduhan itu. Air mata hampir jatuh dari pelupuk matanya.
“Demi Tuhan saya bukan pelacur!”
“Ibu dan anak ternyata sama saja! Kami tidak mau manusia kotor sepertimu mencemari desa ini,” seru seseorang lain dengan sinis dan ditimpali gumam setuju dari orang sekitarnya. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya jatuh di pipinya. Hati Ilalang sakit.
“Ibu bukan pelacur!” teriak Ilalang marah.
“Semua orang juga tahu dia kerja apa!! Kalian berdua lahir tanpa bapak!”
“Sudah, usir saja dia sebelum ada malapetaka menimpa desa kita!” teriak bapak teman sekelasnya itu. Dan dalam waktu sepersekian detik, tangan-tangan kasar menarik lengan Ilalang dan berusaha menyeretnya menjauh dari depan pintu rumah.
“Jangan!! Tolong lepaskan, saya tidak bersalah!” kata Ilalang putus asa sambil meronta minta dilepaskan. Suara permohonannya tenggelam oleh teriakan warga lainnya yang semakin kalap.
“Usir! Usir!”
“Alang…Alang…! Lepaskan dia, tolong, lepaskan!” sayup terdengar suara lemah simbah diantara teriakan warga. Ilalang meronta dan menangis berteriak memanggil simbahnya.
Ketika dia diseret sampai jalan setapak, simbah roboh ke tanah diiringi teriakan pilu Gendhis. Ilalang berusaha keras melepaskan diri tapi sia-sia. Itulah terakhir kali dia melihat simbah dan Gendhis.
-Flashback end-

Entah sudah berapa lama Ilalang bersimpuh menumpahkan air mata kesedihan, kerinduan, dan juga kemarahan di depan pusara simbahnya. Semua kenangan itu satu persatu muncul di kepalanya.
Malam itu dia diusir keluar dari desanya. Warga desa menyeret dan meninggalkannya di jalan masuk desa. Selama 2 jam lebih Ilalang berdiri mematung sambil memohon untuk diijinkan kembali, tapi warga tak menghiraukannya. Tanpa membawa satu pun hartanya kecuali selendang merah, Ilalang terusir dari desa. Seminggu kemudian dia baru mengetahui kalau simbahnya meninggal dan Gendhis menghilang entah kemana. Selama 5 tahun ini dia terus mencari adiknya.
Rahasia demi rahasia mengenai jati dirinya dan Gendhis juga terkuak. Ternyata selama ini ibunya bukanlah ibu kandung mereka. Ilalang akhirnya tahu di mana ibunya bekerja dan kenapa selalu terlihat lelah setiap kali datang ke rumah. Ya, ibunya bekerja di kawasan lokalisasi. Bukan, bukan sebagai pekerja seks komersil melainkan buruh cuci di kawasan itu.
Ilalang dan Gendhis adalah anak pelacur. Setelah mereka lahir, ibu kandung mereka menyerahkan dan meminta ibunya untuk merawat mereka seperti anak kandungnya. Ilalang langsung teringat ketika suatu pagi ibunya menyusuri jalan setapak membawa gendongan. Seorang bayi. Ibu dan simbah mengatakan bayi itu adalah adiknya. Tentu saja Ilalang tidak punya pikiran lain saat itu.
Semua rahasia itu diceritakan padanya oleh Mami, germo  di lokalisasi tempat ibu angkat maupun ibu kandungnya bekerja. Dan, kedua ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Kalau ibu kandung Gendhis masih hidup, tetapi entah sekarang berada di mana. Dan, disanalah sekarang Ilalang bekerja. Menjadi salah satu bunga malam di rumah pelacuran milik Mami sampai setahun lalu.
Ironis sekali memang. Kehidupannya tidak mudah, namun seperti namanya, Ilalang, dia tidak pernah menyerah meski beberapa kali terjatuh, terinjak, terbakar. Malah semakin tangguh. Dia sudah terinjak dan terbakar habis ketika terusir dari desanya. Hasutan pak kades yang gagal menjadikannya istri ketiga dan telah mengoyak mahkotanya dengan paksa itu membuat bara kecil di hatinya membesar.
Jauh di lubuk hati dia tahu apa yang dia lakukan itu salah ketika menerima tawaran Mami untuk bekerja sebagai salah satu bunga di rumah pelacurannya. Dia tidak punya pilihan lain saat itu. Dia terusir dari desa tanpa sepeser pun uang, tidak mengenal kota besar yang terlihat menakutkan, dan Ilalang tahu dia akan aman berada di tempat itu. Paling tidak dari penjahat dan perampok di dunia luar.
Ilalang membuat perjanjian dengan Mami saat memutuskan bekerja sebagai anak buahnya. Mengganti nama dan berhenti ketika dia sudah melayani 1000 lelaki. Mami langsung setuju dan juga memberikan nama “Mawar” padanya.
Mawar, bunga yang wanginya selalu mengundang lebah untuk singgah. Bunga merah mempesona, mahal, namun berduri tajam. Ilalang dan Mawar, kedua nama itu menggambarkan dirinya. Tangguh, tajam dan mematikan. Mami berharap dengan nama barunya itu, dia menjadi primadona, cantik tapi juga mematikan.
“Mbak, sudah waktunya pergi,” tegur Tari menyentuh pundak Ilalang dengan lembut. Sebenarnya dia mengawasi Ilalang sejak tadi. Dia hanya pura – pura tidur saat memasuki desa itu untuk memberikan waktu Ilalang.
Ilalang menoleh ke arah Tari, mengusap air matanya. Setelah menabur bunga di atas pusara, Ilalang berdiri dibantu Tari. Ilalang mengusap lembut lengan gadis yang menggandeng tangannya itu dan tersenyum. Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak menuju mobil.
“Biar Tari yang menyetir, ya. Mbak tidur saja,” kata Tari sambil meraih kunci dari tangan Ilalang.
Tanpa banyak kata mereka masuk mobil dan pergi dari area pemakaman untuk kembali ke Surabaya.
“Terima kasih ya, sudah mau menemani mbak,” kata Ilalang sambil melepas kacamata hitamnya. Tari mengangguk pelan.
Ilalang tersenyum simpul. Hidupnya memang berat, tapi ada orang baik yang selalu menguatkan saat dia terpuruk dan menyelamatkannya saat terjatuh. Salah satunya adalah gadis di sampingnya yang sedang konsentrasi menyetir sambil bernyanyi riang itu. Bunga Matahari.


to be continue


No comments:

Post a Comment