Sudah
berapa tahun dia tidak menjejakkan kaki di tanah kelahirannya itu. Banyak
perubahan yang terjadi dalam 5 tahun ini. Kalau saja dia tidak melihat papan
kayu terpanjang di jalan masuk desa, mungkin dia akan mengira salah jalan.
Persawahan yang mengapit jalan utama desa hampir sebagian sudah hilang
tergantikan bangunan – bangunan, jalan yang dulu berbatu dan berdebu kini sudah
beraspal.
Ilalang
melirik ke sebuah bukit. Di sana, dulu ada bangunan reyot rumahnya. Telah
menjadi puing-puing 5 tahun lalu sebelum dia pergi dari desa. Dihelanya napas
panjang dan berusaha membuang kenangan itu dari kepalanya dan terus mengemudikan
mobil hitamnya menyusuri jalanan beraspal. Beberapa orang menoleh heran melihat
mobil sebagus itu memasuki desa mereka, anak-anak kecil berlarian berusaha
mengejar namun akhirnya berhenti terengah kecapekan.
Di
balik bukit, jauh di ujung desa, Ilalang menghentikan mobilnya. Setelah memastikan
tidak ada satu pun orang di sekitar sana, dia memakai kaca mata hitam dan turun
membawa kantong plastik berwarna hitam di tangan kiri dan sebuket bunga lily kuning. Ilalang berjalan menyusuri
jalan tanah berkerikil menuju komplek pemakaman desa. Setelah melewati semak
belukar, di samping pohon pinus Ilalang berhenti. Menatap sejenak sebelum
akhirnya duduk bersimpuh.
“Mbah…Simbah,
Ilalang datang,” rintihnya pelan lalu tersedu.
-Flashback-
“
Usir pelacur itu!”
“Bakar!
Bakar!”
“Jangan
biarkan dia hidup!”
“Usir!
Bakar! Bunuh!”
Teriakan-teriakan
lantang warga menggema di kawasan tepi hutan yang biasanya sepi itu. Beberapa
kali kerikil dan batu menghantam pintu, dinding semi permanen dan genteng rumah
mereka. Pecahan genteng jatuh berhamburan ke lantai tanah, mengenai perabot dan
menimbulkan suara dentang nyaring.Gendhis terisak meringkuk ketakutan di sudut
kamar dalam pelukan Ilalang yang juga berusaha keras menutupi ketakutannya
sendiri. Simbah dengan tubuh rentanya berusaha bangkit dari tempat tidur, namun
Ilalang mencegahnya. Dia tidak ingin kondisi Simbah yang sedang sakit malah
semakin parah.
“Gendhis,
kamu jaga simbah, Mbak akan mencoba bicara dengan mereka,” bisik Ilalang yang
langsung dipeluk lebih erat oleh Gendhis.
“Jangan
Mbak, bahaya. Nanti mbak malah celaka,” cegah Gendhis panik. Teriakan –
teriakan warga terasa mengerikan di telinganya.
“Tidak
akan. Mbak yakin mereka tidak akan senekat itu. Mereka sudah mengenal mbak dari
kecil. Ini hanya salah paham,” sahut Ilalang berusaha menenangkan Gendhis. Diusapnya
air mata yang mengalir di pipi Gendhis dengan selendang merah yang melilit di lehernya.
“Mbak…!”
Ilalang
melepaskan pelukan Gendhis dan berusaha menguatkan diri berjalan menuju pintu
depan. Tangan simbah menggapai-gapai ingin mencegahnya keluar, tetapi Ilalang
tak menghiraukannya. Dia sebenarnya tahu, sia-sia memaksa berbicara kepada
warga yang sedang marah itu, tetapi kalau dia tak melakukannya tak akan
menunggu lama untuk rumah ini roboh.
“Akhirnya
keluar juga kamu! Bagus!! Sekarang kamu harus pergi dari desa ini!” teriak seorang
bapak setengah baya yang Ilalang kenali adalah orang tua salah satu teman
sekelasnya.
“Kenapa
saya harus pergi?? Saya tidak bersalah,” kata Ilalang berusaha menyembunyikan
getar ketakutan dari suaranya.
“Masih
saja berbohong. Jangan sok suci! Dasar pelacur!” teriak bapak itu lagi. Ilalang
terkesiap mendengar tuduhan itu. Air mata hampir jatuh dari pelupuk matanya.
“Demi
Tuhan saya bukan pelacur!”
“Ibu
dan anak ternyata sama saja! Kami tidak mau manusia kotor sepertimu mencemari desa
ini,” seru seseorang lain dengan sinis dan ditimpali gumam setuju dari orang
sekitarnya. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya jatuh di pipinya. Hati Ilalang
sakit.
“Ibu
bukan pelacur!” teriak Ilalang marah.
“Semua
orang juga tahu dia kerja apa!! Kalian berdua lahir tanpa bapak!”
“Sudah,
usir saja dia sebelum ada malapetaka menimpa desa kita!” teriak bapak teman
sekelasnya itu. Dan dalam waktu sepersekian detik, tangan-tangan kasar menarik
lengan Ilalang dan berusaha menyeretnya menjauh dari depan pintu rumah.
“Jangan!!
Tolong lepaskan, saya tidak bersalah!” kata Ilalang putus asa sambil meronta
minta dilepaskan. Suara permohonannya tenggelam oleh teriakan warga lainnya
yang semakin kalap.
“Usir!
Usir!”
“Alang…Alang…!
Lepaskan dia, tolong, lepaskan!” sayup terdengar suara lemah simbah diantara
teriakan warga. Ilalang meronta dan menangis berteriak memanggil simbahnya.
Ketika
dia diseret sampai jalan setapak, simbah roboh ke tanah diiringi teriakan pilu
Gendhis. Ilalang berusaha keras melepaskan diri tapi sia-sia. Itulah terakhir kali
dia melihat simbah dan Gendhis.
-Flashback end-
Entah
sudah berapa lama Ilalang bersimpuh menumpahkan air mata kesedihan, kerinduan, dan
juga kemarahan di depan pusara simbahnya. Semua kenangan itu satu persatu
muncul di kepalanya.
Malam
itu dia diusir keluar dari desanya. Warga desa menyeret dan meninggalkannya di
jalan masuk desa. Selama 2 jam lebih Ilalang berdiri mematung sambil memohon
untuk diijinkan kembali, tapi warga tak menghiraukannya. Tanpa membawa satu pun
hartanya kecuali selendang merah, Ilalang terusir dari desa. Seminggu kemudian
dia baru mengetahui kalau simbahnya meninggal dan Gendhis menghilang entah
kemana. Selama 5 tahun ini dia terus mencari adiknya.
Rahasia
demi rahasia mengenai jati dirinya dan Gendhis juga terkuak. Ternyata selama
ini ibunya bukanlah ibu kandung mereka. Ilalang akhirnya tahu di mana ibunya
bekerja dan kenapa selalu terlihat lelah setiap kali datang ke rumah. Ya,
ibunya bekerja di kawasan lokalisasi. Bukan, bukan sebagai pekerja seks
komersil melainkan buruh cuci di kawasan itu.
Ilalang
dan Gendhis adalah anak pelacur. Setelah mereka lahir, ibu kandung mereka
menyerahkan dan meminta ibunya untuk merawat mereka seperti anak kandungnya.
Ilalang langsung teringat ketika suatu pagi ibunya menyusuri jalan setapak
membawa gendongan. Seorang bayi. Ibu dan simbah mengatakan bayi itu adalah
adiknya. Tentu saja Ilalang tidak punya pikiran lain saat itu.
Semua
rahasia itu diceritakan padanya oleh Mami, germo di lokalisasi tempat ibu angkat maupun ibu
kandungnya bekerja. Dan, kedua ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Kalau
ibu kandung Gendhis masih hidup, tetapi entah sekarang berada di mana. Dan,
disanalah sekarang Ilalang bekerja. Menjadi salah satu bunga malam di rumah
pelacuran milik Mami sampai setahun lalu.
Ironis
sekali memang. Kehidupannya tidak mudah, namun seperti namanya, Ilalang, dia
tidak pernah menyerah meski beberapa kali terjatuh, terinjak, terbakar. Malah semakin
tangguh. Dia sudah terinjak dan terbakar habis ketika terusir dari desanya. Hasutan
pak kades yang gagal menjadikannya istri ketiga dan telah mengoyak mahkotanya
dengan paksa itu membuat bara kecil di hatinya membesar.
Jauh
di lubuk hati dia tahu apa yang dia lakukan itu salah ketika menerima tawaran
Mami untuk bekerja sebagai salah satu bunga di rumah pelacurannya. Dia tidak
punya pilihan lain saat itu. Dia terusir dari desa tanpa sepeser pun uang,
tidak mengenal kota besar yang terlihat menakutkan, dan Ilalang tahu dia akan
aman berada di tempat itu. Paling tidak dari penjahat dan perampok di dunia
luar.
Ilalang
membuat perjanjian dengan Mami saat memutuskan bekerja sebagai anak buahnya.
Mengganti nama dan berhenti ketika dia sudah melayani 1000 lelaki. Mami
langsung setuju dan juga memberikan nama “Mawar” padanya.
Mawar,
bunga yang wanginya selalu mengundang lebah untuk singgah. Bunga merah
mempesona, mahal, namun berduri tajam. Ilalang dan Mawar, kedua nama itu
menggambarkan dirinya. Tangguh, tajam dan mematikan. Mami berharap dengan nama
barunya itu, dia menjadi primadona, cantik tapi juga mematikan.
“Mbak,
sudah waktunya pergi,” tegur Tari menyentuh pundak Ilalang dengan lembut.
Sebenarnya dia mengawasi Ilalang sejak tadi. Dia hanya pura – pura tidur saat
memasuki desa itu untuk memberikan waktu Ilalang.
Ilalang
menoleh ke arah Tari, mengusap air matanya. Setelah menabur bunga di atas
pusara, Ilalang berdiri dibantu Tari. Ilalang mengusap lembut lengan gadis yang
menggandeng tangannya itu dan tersenyum. Mereka berdua berjalan menyusuri jalan
setapak menuju mobil.
“Biar
Tari yang menyetir, ya. Mbak tidur saja,” kata Tari sambil meraih kunci dari
tangan Ilalang.
Tanpa
banyak kata mereka masuk mobil dan pergi dari area pemakaman untuk kembali ke
Surabaya.
“Terima
kasih ya, sudah mau menemani mbak,” kata Ilalang sambil melepas kacamata
hitamnya. Tari mengangguk pelan.
Ilalang
tersenyum simpul. Hidupnya memang berat, tapi ada orang baik yang selalu menguatkan
saat dia terpuruk dan menyelamatkannya saat terjatuh. Salah satunya adalah
gadis di sampingnya yang sedang konsentrasi menyetir sambil bernyanyi riang
itu. Bunga Matahari.
to be continue
No comments:
Post a Comment