Sunday, May 5, 2019

ILALANG DI UJUNG SENJA episode 2



pinterest

Sudah lebih 10 menit Tari termangu di depan layar laptopnya. Tangannya masih menimang recorder berisi wawancara yang dia lakukan siang tadi. Terasa ada yang janggal. Entah kenapa Tari tidak bisa menghilangkan sosok salah satu narasumbernya itu dari benaknya. Dia begitu berbeda dibandingkan dengan wanita-wanita lainnya sesama penghuni lorong sempit daerah lokalisasi yang terkenal di kota Surabaya itu. Dibalik semua riasan tebal dan wangi parfum murahan itu terpancar aura yang kuat. Bahkan sempat Tari melihat beberapa penghuni lokalisasi itu seperti segan dan menaruh hormat padanya.

Mawar. Hanya itu yang dia sebutkan saat perkenalan diri. Nama yang cantik, batin Tari seraya menyambut uluran tangan Mawar yang terasa lembut dan halus seperti sutra. Seandainya Mawar menghapus riasan tebalnya, ia masih akan terlihat cantik dengan gigi gingsul dan lesung pipitnya saat tersenyum. Sayang, selama wawancara senyum itu jarang terkulas dari wajahnya.
“Kamu masih memikirkan wanita berselendang merah itu?” tegur Agni menepuk pelan pundak Tari. Diraihnya kamera di atas meja dan melihat hasil jepretan Tari. Mau tak mau dia berdecak kagum melihatnya. Entah objeknya yang sedemikian cantik ataukah teknik Tari yang mumpuni sehingga menghasilkan potret yang layak diacungi jempol.
“Entahlah. Matanya seperti ingin bercerita banyak, lebih dari kesedihan yang aku lihat dari sorot mata wanita itu,” sahut Tari masih setengah melamun. Jemarinya mengetuk pelan meja, kebiasaan jika dia sedang resah.
“Karena itu kamu ingin ke sana lagi? Tidak takut?” tanya Agni tanpa mengalihkan pandangannya dari kamera Tari.
“Takut?”
Well, kamu tahulah orang dan tempat seperti apa daerah itu. Belum lagi apa kata orang jika melihatmu keluar masuk lingkungan semacam itu?” Agni melirik sekilas ke arah Tari yang langsung mengerenyitkan keningnya.
“Lingkungan semacam itu? Daerah lokalisasi maksudmu? Apa peduliku dengan omongan orang, toh aku kesana untuk bekerja, mencari data. Lagipula mereka juga manusia. Hanya jalan hidup yang mereka pilih saja berbeda dengan kita,” sahut Tari sewot. Kalau orang lain yang bilang seperti itu dia pasti akan langsung melempar recorder ditangannya ke kepala orang itu.
“Jalan hidup yang…You know laah,” kata Agni pelan.
“Sebagai pelacur? Sebagian dari mereka ada yang korban human trafficking, alasan ekonomi, banyak yang terpaksa seperti itu. Bukan murni kemauan mereka,” sergah Tari lagi. Duluuu...dia pernah berpikir seperti itu. Jijik dengan keberadaan mereka. Hingga suatu hari dia bertemu seseorang dari mereka yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itu dia tertarik dengan kehidupan mereka dan menjadi salah satu anggota LSM yang fokus ke permasalahan  pekerja seks komersil.
“Dan kamu percaya? Bisa saja mereka bilang begitu padahal alasannya karena ingin mencari uang dengan mudah,” Agni masih keukeuh membantah. Tari memutar kedua bola matanya, lalu menghela napas panjang. Jangan emosi, desisnya.
“Aku balik sekarang pertanyaanmu. Dan dirimu percaya semuanya seperti itu? Darimana kamu tahu?”
“Ada kasus LSM menolong oknum yang mengaku human trafficking dan juga oknum dibawah umur. Nyatanya? Mereka kembali ke gang itu 3 bulan kemudian. Alasannya? Di sana lebih gampang mencari uang banyak,” Agni membeberkan beberapa kasus yang sebenarnya Tari sudah tahu. Memang benar banyak kejadian seperti itu. LSM berjuang membebaskan mereka dari mucikari dan melawan preman-preman yang berusaha mencegah usaha itu. 3 bulan, bahkan ada yang sebulan kemudian kembali ke daerah itu lagi.
“Iya, mungkin ada. Tapi, kita tidak bisa menggeneralisasi semuanya seperti itu hanya karena beberapa oknum,” kata Tari membantah.
“Kadang jiwa sosial dan keingintahuanmu itu menutupi logika. Sudah seperti seorang aktivis saja. Kalau kamu ingin kembali kesana, jangan sendiri. Ajak Mas Daru atau Angkasa. Bagaimanapun tidak semua orang di daerah itu orang baik,” kata Agni bernada pasrah. Susah melawan keingintahuan sahabatnya yang keras kepala itu.
“Iya, nanti aku ajak Angkasa.”

*****

Mawar terkesiap ketika mendapati Tari duduk di depan kosnya asyik bercerita pada beberapa bocah yang tinggal di sekitar kos. Berusaha mengabaikan senyuman Tari yang bergegas berdiri menyapanya, Mawar melenggang masuk ke kamar. Kalau dia abaikan pasti gadis itu pergi juga, pikirnya seraya cepat-cepat menutup pintu kamar. Ternyata suara ceria gadis itu masih terdengar 30 menit kemudian, bercerita tentang Timun Mas. Sesekali suaranya berubah sesuai karakter yang dia mainkan diselingi gelak tawa pendengarnya. Tanpa sadar Mawar ikut tersenyum.
“Tidak lucu!” Mawar menggumam kesal, setelah menyadari lesung pipitnya sudah muncul sebanyak tiga kali. Dia menutup telinganya dengan bantal berusaha meredam suara mereka. Berkali – kali merubah posisi tidurnya.
“Huft…ganggu saja!” dengusnya sambil bangun dari tidur dan duduk di pinggir ranjang. Perlahan dia bangkit berjalan menuju pintu kamar. Tangannya kembali terkulai sesaat sebelum memutar knop pintu. Ragu.

-Flashback-
“Mawar.”
Uluran tangannya disambut dengan genggaman erat dan senyum lebar.
“Bunga Matahari. Panggil saja Tari,” sahut gadis itu seraya mempersilahkan dirinya duduk di sofa berwarna hijau limun yang berada di depan kursi Tari duduk.
“Waaah, nama kita bertemakan bunga, ya,” katanya lagi dengan ceria. Mawar hanya tersenyum simpul.
Mungkin kita sama-sama bunga, tapi taman tempat kita tumbuh dan kehidupan kita jauh berbeda. Sangat berbeda. Batin Mawar kala itu. Ia pikir mereka tidak akan bertemu kembali, hingga 3 hari lalu seminggu setelah pertemuan mereka yang pertama, gadis bernama Tari itu muncul di depan kosnya membawakan martabak dan senyum lebar. Padahal Mawar sudah tidak mengindahkannya, namun besoknya dan hari ini gadis itu datang kembali.
Dari penuturan beberapa orang, gadis itu sudah setahun ini sering datang sebagai salah satu aktivis LSM pemerhati kehidupan PSK dan juga lingkungan mereka. Mengajari anak-anak membaca dan menulis, memberikan buku cerita atau alat tulis, bahkan mengajari berdandan atau keterampilan lain ke para PSK. Biasanya anggota LSM seperti Tari sering mendapat gangguan dari preman lokalisasi, entah kenapa berbeda dengan gadis itu. Bahkan Mami, germo yang paling disegani juga menaruh hormat pada gadis itu.
-Flashback end-

Mawar mencuri pandang ke arah Tari yang sedang lahap menikmati sepiring nasi goreng.  Setelah sempat ragu, akhirnya Mawar menemui Tari yang langsung mengeluh lapar dan minta dibuatkan sepiring nasi goreng. Entah kenapa Mawar tidak kuasa menolak dan membuatkan sepiring nasi goreng.
“Mbak, kapan libur?” tanya Tari mengalihkan perhatian dari nasi gorengnya. Mawar mengerenyitkan kening mendengar pertanyaan yang tak biasa itu.
“Pekerja seperti kami ini tidak ada liburnya, Dik,” sahut Mawar sedih. Libur sehari sama saja kehilangan lembaran uang. Dan hutang makin menumpuk ke Mami.
“Mbak pura-pura sakit saja kalau begitu. Biar bisa libur, hehehe” usul Tari nyengir. Ingin rasanya menjitak kepala gadis itu.
“Memang kenapa?”
“Mau ngajak Mbak nonton wayang orang,” kata Tari mengagetkan. Seumur hidup baru kali ini ada orang mengajaknya menonton. Mawar diam sejenak sebelum menghela napas panjang. Gadis itu memang susah  ditebak isi kepalanya.
“Hah? Kamu ga malu pergi sama aku? Mbak kan…”
“Kenapa mesti malu? Mbak perginya pakai baju, kan? Ga telanjang,” kata Tari memotong ucapan Mawar. Hampir saja dia tersedak karena menahan tawa, lalu mengubahnya sebagai batuk kecil.
“Kapan?”
“Jumat depan. Mau, ya??? Jangan lupa pakai baju, biar ga malu,” kata Tari lagi sambil tertawa menggodanya. Mawar tersenyum simpul. Sudah lama tidak merasakan ketenangan di hatinya.
Mawar menatap puncak kepala Tari yang menunduk asyik menyantap sisa nasi goreng buatannya. Ada cairan bening di sudut matanya.






to be continue

No comments:

Post a Comment