Sudah
lebih 10 menit Tari termangu di depan layar laptopnya. Tangannya masih menimang
recorder berisi wawancara yang dia
lakukan siang tadi. Terasa ada yang janggal. Entah kenapa Tari tidak bisa
menghilangkan sosok salah satu narasumbernya itu dari benaknya. Dia begitu
berbeda dibandingkan dengan wanita-wanita lainnya sesama penghuni lorong sempit
daerah lokalisasi yang terkenal di kota Surabaya itu. Dibalik semua riasan
tebal dan wangi parfum murahan itu terpancar aura yang kuat. Bahkan sempat Tari
melihat beberapa penghuni lokalisasi itu seperti segan dan menaruh hormat
padanya.
Mawar.
Hanya itu yang dia sebutkan saat perkenalan diri. Nama yang cantik, batin Tari
seraya menyambut uluran tangan Mawar yang terasa lembut dan halus seperti
sutra. Seandainya Mawar menghapus riasan tebalnya, ia masih akan terlihat cantik
dengan gigi gingsul dan lesung pipitnya saat tersenyum. Sayang, selama wawancara senyum itu
jarang terkulas dari wajahnya.
“Kamu masih memikirkan wanita berselendang merah itu?” tegur Agni menepuk pelan
pundak Tari. Diraihnya kamera di atas meja dan melihat hasil jepretan Tari. Mau
tak mau dia berdecak kagum melihatnya. Entah objeknya yang sedemikian cantik
ataukah teknik Tari yang mumpuni sehingga menghasilkan potret yang layak
diacungi jempol.
“Entahlah.
Matanya seperti ingin bercerita banyak, lebih dari kesedihan yang aku lihat
dari sorot mata wanita itu,” sahut Tari masih setengah melamun. Jemarinya
mengetuk pelan meja, kebiasaan jika dia sedang resah.
“Karena
itu kamu ingin ke sana lagi? Tidak takut?” tanya Agni tanpa mengalihkan
pandangannya dari kamera Tari.
“Takut?”
“Well, kamu tahulah orang dan tempat
seperti apa daerah itu. Belum lagi apa kata orang jika melihatmu keluar masuk
lingkungan semacam itu?” Agni melirik sekilas ke arah Tari yang langsung
mengerenyitkan keningnya.
“Lingkungan
semacam itu? Daerah lokalisasi maksudmu? Apa peduliku dengan omongan orang, toh
aku kesana untuk bekerja, mencari data. Lagipula mereka juga manusia. Hanya
jalan hidup yang mereka pilih saja berbeda dengan kita,” sahut Tari sewot.
Kalau orang lain yang bilang seperti itu dia pasti akan langsung melempar recorder ditangannya ke kepala orang
itu.
“Jalan
hidup yang…You know laah,” kata Agni
pelan.
“Sebagai
pelacur? Sebagian dari mereka ada yang korban human trafficking, alasan ekonomi, banyak yang terpaksa seperti
itu. Bukan murni kemauan mereka,” sergah Tari lagi. Duluuu...dia pernah
berpikir seperti itu. Jijik dengan keberadaan mereka. Hingga suatu hari dia
bertemu seseorang dari mereka yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itu dia
tertarik dengan kehidupan mereka dan menjadi salah satu anggota LSM yang fokus
ke permasalahan pekerja seks komersil.
“Dan
kamu percaya? Bisa saja mereka bilang begitu padahal alasannya karena ingin
mencari uang dengan mudah,” Agni masih keukeuh membantah. Tari memutar kedua
bola matanya, lalu menghela napas panjang. Jangan emosi, desisnya.
“Aku
balik sekarang pertanyaanmu. Dan dirimu percaya semuanya seperti itu? Darimana kamu
tahu?”
“Ada
kasus LSM menolong oknum yang mengaku human
trafficking dan juga oknum dibawah umur. Nyatanya? Mereka kembali ke gang
itu 3 bulan kemudian. Alasannya? Di sana lebih gampang mencari uang banyak,”
Agni membeberkan beberapa kasus yang sebenarnya Tari sudah tahu. Memang benar
banyak kejadian seperti itu. LSM berjuang membebaskan mereka dari mucikari dan
melawan preman-preman yang berusaha mencegah usaha itu. 3 bulan, bahkan ada
yang sebulan kemudian kembali ke daerah itu lagi.
“Iya,
mungkin ada. Tapi, kita tidak bisa menggeneralisasi semuanya seperti itu hanya
karena beberapa oknum,” kata Tari membantah.
“Kadang
jiwa sosial dan keingintahuanmu itu menutupi logika. Sudah seperti seorang
aktivis saja. Kalau kamu ingin kembali kesana, jangan sendiri. Ajak Mas Daru
atau Angkasa. Bagaimanapun tidak semua orang di daerah itu orang baik,” kata
Agni bernada pasrah. Susah melawan keingintahuan sahabatnya yang keras kepala
itu.
“Iya,
nanti aku ajak Angkasa.”
*****
Mawar
terkesiap ketika mendapati Tari duduk di depan kosnya asyik bercerita pada
beberapa bocah yang tinggal di sekitar kos. Berusaha mengabaikan senyuman Tari
yang bergegas berdiri menyapanya, Mawar melenggang masuk ke kamar. Kalau dia
abaikan pasti gadis itu pergi juga, pikirnya seraya cepat-cepat menutup pintu
kamar. Ternyata suara ceria gadis itu masih terdengar 30 menit kemudian,
bercerita tentang Timun Mas. Sesekali suaranya berubah sesuai karakter yang dia
mainkan diselingi gelak tawa pendengarnya. Tanpa sadar Mawar ikut tersenyum.
“Tidak
lucu!” Mawar menggumam kesal, setelah menyadari lesung pipitnya sudah muncul
sebanyak tiga kali. Dia menutup telinganya dengan bantal berusaha meredam suara
mereka. Berkali – kali merubah posisi tidurnya.
“Huft…ganggu
saja!” dengusnya sambil bangun dari tidur dan duduk di pinggir ranjang.
Perlahan dia bangkit berjalan menuju pintu kamar. Tangannya kembali terkulai
sesaat sebelum memutar knop pintu. Ragu.
-Flashback-
“Mawar.”
Uluran
tangannya disambut dengan genggaman erat dan senyum lebar.
“Bunga
Matahari. Panggil saja Tari,” sahut gadis itu seraya mempersilahkan dirinya
duduk di sofa berwarna hijau limun yang berada di depan kursi Tari duduk.
“Waaah,
nama kita bertemakan bunga, ya,” katanya lagi dengan ceria. Mawar hanya
tersenyum simpul.
Mungkin
kita sama-sama bunga, tapi taman tempat kita tumbuh dan kehidupan kita jauh
berbeda. Sangat berbeda. Batin Mawar kala itu. Ia pikir mereka tidak akan
bertemu kembali, hingga 3 hari lalu seminggu setelah pertemuan mereka yang
pertama, gadis bernama Tari itu muncul di depan kosnya membawakan martabak dan
senyum lebar. Padahal Mawar sudah tidak mengindahkannya, namun besoknya dan
hari ini gadis itu datang kembali.
Dari
penuturan beberapa orang, gadis itu sudah setahun ini sering datang sebagai
salah satu aktivis LSM pemerhati kehidupan PSK dan juga lingkungan mereka.
Mengajari anak-anak membaca dan menulis, memberikan buku cerita atau alat
tulis, bahkan mengajari berdandan atau keterampilan lain ke para PSK. Biasanya
anggota LSM seperti Tari sering mendapat gangguan dari preman lokalisasi, entah
kenapa berbeda dengan gadis itu. Bahkan Mami, germo yang paling disegani juga
menaruh hormat pada gadis itu.
-Flashback end-
Mawar
mencuri pandang ke arah Tari yang sedang lahap menikmati sepiring nasi
goreng. Setelah sempat ragu, akhirnya
Mawar menemui Tari yang langsung mengeluh lapar dan minta dibuatkan sepiring
nasi goreng. Entah kenapa Mawar tidak kuasa menolak dan membuatkan sepiring
nasi goreng.
“Mbak,
kapan libur?” tanya Tari mengalihkan perhatian dari nasi gorengnya. Mawar
mengerenyitkan kening mendengar pertanyaan yang tak biasa itu.
“Pekerja
seperti kami ini tidak ada liburnya, Dik,” sahut Mawar sedih. Libur sehari sama
saja kehilangan lembaran uang. Dan hutang makin menumpuk ke Mami.
“Mbak
pura-pura sakit saja kalau begitu. Biar bisa libur, hehehe” usul Tari nyengir.
Ingin rasanya menjitak kepala gadis itu.
“Memang
kenapa?”
“Mau
ngajak Mbak nonton wayang orang,” kata Tari mengagetkan. Seumur hidup baru kali
ini ada orang mengajaknya menonton. Mawar diam sejenak sebelum menghela napas
panjang. Gadis itu memang susah ditebak
isi kepalanya.
“Hah?
Kamu ga malu pergi sama aku? Mbak kan…”
“Kenapa
mesti malu? Mbak perginya pakai baju, kan? Ga telanjang,” kata Tari memotong
ucapan Mawar. Hampir saja dia tersedak karena menahan tawa, lalu mengubahnya
sebagai batuk kecil.
“Kapan?”
“Jumat
depan. Mau, ya??? Jangan lupa pakai baju, biar ga malu,” kata Tari lagi sambil
tertawa menggodanya. Mawar tersenyum simpul. Sudah lama tidak merasakan
ketenangan di hatinya.
Mawar
menatap puncak kepala Tari yang menunduk asyik menyantap sisa nasi goreng
buatannya. Ada cairan bening di sudut matanya.
to be continue
No comments:
Post a Comment