Thursday, May 9, 2019

ILALANG DI UJUNG SENJA episode 4


 
pinterest


Lagi-lagi aku kalah!!!! Menyebalkan!!! Aku benci kekalahan!! Aku benci!!!! Apalagi harus kalah dari dia!!! Teriaknya dalam hati. Senja meluapkan emosi dalam hatinya dengan melempar semua barang di dalam kamar, bantal, guling, selimut, boneka, buku-buku di atas meja, bingkai photo pecah, vas bunga, semua berantakan dan berserakan di atas lantai. Kamar yang semula rapi kini berubah menjadi kapal pecah. Dengan napas terengah menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.

“Aaaaaaaarrrg!!!!!!!” teriak Senja kencang memenuhi kamar. Untung saja kamarnya di rancang kedap suara, hingga suara teriakannya tidak akan keluar dan didengar oleh seisi rumah. Sekali lagi dia berteriak, mengacak-acak rambut panjangnya, menghentakkan kaki ke lantai dengan kesal, tangan yang sebelumnya menggenggam handphone, kini dengan geram melemparkannya hingga hancur berkeping ke tembok.
Dengan terengah Senja bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi, menutup pintu dan menguncinya. Mengalirkan semua kran kamar mandi yang sebentar lagi pasti akan membanjiri lantai kamar mandi. Sambil berdiri menatap kaca wastafel, satu persatu bayangan yang menyakitkan itu menghantui benaknya. Tampak jelas seperti melihat layar bioskop saja. Saat dia melihat bayangan dirinya sendiri yang berantakan, dengan rambut acak-acakan, mascara luntur, mata sembab, hatinya makin diliputi kebencian. Amarah membutakan mata dan rasa sakit ketika kaca wastafel hancur oleh kepalan tangannya, darah mengalir dari jemarinya dan kuku-kuku indahnya pun patah.
Tapi, rasa marah dan kebencian itu belum kunjung reda juga. Masih dengan baju yang masih melekat di tubuh, dia menceburkan diri ke bathtub, memenuhi dengan gelembung sabun dan air dingin, menenggelamkan diri sampai dasar. Senja tidak cukup bodoh untuk bunuh diri, dia hanya ingin air-air itu membersihkan pikirannya. Membersihkannya dari kenangan-kenangan buruk yang menyakitkan,
Entah berapa lama dia  berendam dalam air dingin ketika mendengar suara mbok Nah memanggil dari luar pintu kamar. Perlahan Senja membuka mata, berhati-hati berdiri dari bathtub yang licin, berjalan ke luar dari kamar mandi dengan baju basah yang meneteskan air berbusa di sepanjang lantai. Membukakan pintu untuk mbok Nah dan membiarkannya masuk, mendapati kamar porak poranda untuk kesekian kalinya. Perempuan setengah baya itu sudah tidak kaget, heran ataupun takut seperti reaksinya dulu saat pertama kali mendapati kamar dan kondisi Senja yang berantakan.  Tanpa banyak kata dia masuk, membereskan semuanya, membuat keadaan kamar seperti semula lagi sebelum orang rumah tahu. Dan Senja, mengekor di belakangnya kemudian duduk di salah satu kursi empuk di pojokan kamar, masih dengan baju basah. Mbok Nah hanya menatap anak gadis majikannya itu sekilas sebelum memberikan handuk dan baju ganti.
Waktu membuka mata, kamar sudah kembali rapi seperti sedia kala dan ada senampan makanan di atas meja belajar. Vas bunga  kembali utuh, kaca sudah terpasang rapi lagi, tentu saja semua barang baru yang sudah suami mbok Nah siapkan  di gudang. Perlahan Senja berjalan ke meja belajar, kemarahan membuatnya lapar dan memaksakan diri menyuapi mulutnya sesendok demi sesendok.
Sepi. Di kamar yang luas ini, sepi, hampa, dingin dan menyesakkan. Meskipun ada  radio, dvd player, computer, laptop, tv plasma, pendingin ruangan dan seabrek barang elektronik lainnya, tapi semuanya hanya benda mati. Mungkin bisa saja Senja menyalakan semuanya biar ramai suasana kamar bernuansa biru itu, tapi pada kenyataannya dia membiarkan semuanya mati. Seperti apa adanya mereka. Benda mati. Dan Senja kembali meringkuk kesepian di ujung ranjangnya.

*****

Rumah terlihat sepi seperti biasa. Hanya sopir, satpam, tukang kebun, mbok Nah dan Mimin di rumah. Tidak bisa  dihitung sebagai keluarga, kan. Tanpa menghiraukan sapaan Mimin, Senja langsung menuju kamarnya di lantai 2, menutup pintu dan menguncinya.  Menghempaskan tubuh ke kasur berwarna biru, warna kesukaannya.  Lalu memejamkan mata, penat.
Namanya Senja Salsabila, umur 19 tahun, bungsu dari dua bersaudara, anak seorang konglomerat yang sempurna, kuliah di sebuah universitas terkenal di Jakarta, jurusan hukum  semester 4. Baginya kuliah hanya sebagai formalitas mencari gelar saja. Buang-buang duit orang tuanya yang seabrek itu. Tanpa bersusah payah kuliahpun, dia rasa kehidupan tujuh turunan akan terjamin sebagai anak dari seorang konglomerat di negeri ini. Semua yang diminta dalam hitungan detik bisa dia dapatkan. Hanya satu yang tidak bisa dia dapatkan, waktu.Kehadiran orang tuanya. Mereka terlalu sibuk di luar sana. Papa sibuk mengurusi bisnisnya dan sering keluar negeri. Mama yang terkadang mengikuti Papa Senja kemana saja, dia juga sibuk mengurusi bisnisnya sendiri dan aktif di sebuah organisasi pembela perempuan –entah apa Senja tidak paham-.  Sedangkan kakak perempuannya, kuliah di sebuah universitas yang prestisius. Dia mendapatkan beasiswa karena kecemerlangan otaknya. Berbeda
Mereka saat berada di rumah juga tidak kalah sibuk. Sibuk memarahi, menasihati dan membandingkan kedua saudara itu. Apabila ada acara kumpul-kumpul, anak yang selalu dibanggakan hanya kakak perempuannya saja. Dan, komentar untuk dirinya hanya satu “Semoga Senja bisa seperti kakaknya”. Membuatku makin terpojok. Kemudian orang tuanya akan mengeluarkan kata-kata mutiara yang sudah dihapalnya sejak masih duduk di bangku SMP. “Tiru kakakmu yang rajin ini.” Belum ada kata mutiara yang baru hingga sekarang.
Di luar sana, Senja menampilkan sosok yang paling sempurna tanpa cacat. Cantik, kaya, pintar, baik hati, lemah lembut dan rendah hati. Senyuman selalu hadir di wajahnya yang polos ini. Hanya orang-orang terdekat atau pernah dekat dengannya yang tahu wajah di balik topeng itu, namunn mereka terlalu takut atau terlalu baik hati untuk mengungkapkan pada orang lain. Senja membutuhkan mereka untuk dia kalahkan, dalam segi apapun. Itu saja.

*****

Darahnya mendidih saat mendapati gadis yang paling dia benci duduk di sebelah Mamanya. Mereka berdua nampak asyik membahas mengenai kebudayaan dan gender. Ingin rasanya membungkam mulut  gadis berambut cepak itu yang sesekali tertawa ditimpali oleh Mama. Sengaja berjalan dengan suara berisik, Senja menghampiri mereka dan langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa tak jauh dari kedua orang itu.
“Kebetulan kamu datang, kita mau pergi menonton pertunjukan sendratari. Ikut?” tanya mama Senja sambil mengulurkan kertas yang langsung ditepisnya.
“Senja tidak suka acara begituan,” sungutnya.
“Padahal bagus, lho. Daripada kamu keluyuran tidak jelas, mending ikut mama dan…”
“Kan sudah Senja bilang, tidak suka!! Sejak kapan sih, mama suka menonton sendratari?” sungutnya semakin kesal. Dia melirik gadis berambut cepak itu. Pasti gara-gara anak kampung itu!
“Ya sudah kalau kamu tidak mau ikut,” kata mama Senja mengalah. Tabiat Senja yang gampang emosi itu sangat dia pahami, semakin dipaksa atau dibujuk akan semakin meledak-ledak.
Mama Senja membalikkan badan dan melanjutkan obrolan tentang perjuangan salah satu anak teman arisan, yang kebetulan adalah teman sekampus Senja. Bunga Matahari. Ada nada bangga dari suara perempuan paruh baya itu yang semakin membuat Senja kesal. Sepertinya, hanya dirinya yang tidak pernah membuat orang tuanya bangga. Bukankah sebagai orang tua mama atau papanya harus pamer atau membanggakan anaknya sendiri, bukan anak tetangga atau anak tidak jelas seperti gadis yang sedang antusias mendengarkan cerita mama Senja.
Satu lagi orang yang Senja benci. Orang yang sudah merebut perhatian orang tua, bahkan orang satu kompleks perumahannya. Bocah ingusan yang diadopsi beberapa tahun lalu. Bocah tidak jelas asal usulnya. Bocah dengan nama yang aneh. Gendhis.


to be continue

No comments:

Post a Comment