Saturday, May 4, 2019

ILALANG DI UJUNG SENJA

Pic by pinterest


Kabut masih menggantung di antara dedaunan, angin menghantarkan dingin menusuk tulang rusuk. Matahari pagi bahkan masih enggan muncul di ujung timur gunung yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri. Pukul 5 pagi. Sayup ayat suci terlantun merdu dari surau yang berada di sudut kampung, 1 kilo dari gubuk reyotnya.

Sekali lagi Ilalang merapatkan sweater merah pudar yang sudah lusuh ke tubuh kurusnya, sebelum akhirnya dia berjalan turun menyusuri setapak menuju sumber air di bawah sana. Rutinitas pagi harinya. Membawa tempayan untuk wadah air. Dia akan 3 sampai 5 kali bolak balik ke sumber air untuk mengambil air sampai tempayan besar di rumahnya penuh. Belum lagi kalau terpeleset, masih untung kalau hanya air tumpah atau badannya yang lecet, kalau tempayan tembikar itu sampai jatuh dan pecah, akan ada pukulan sapu lidi dari simbahnya. Karena itu dia berjalan pelan, nyaris mengalahkan keong.
Ilalang berhenti sejenak saat perlahan sinar keemasan menyembul dari balik gunung. Dari dulu dia suka sekali matahari pagi. Waktu kecil, saat matahari terbit dia akan menemukan sosok ibunya berjalan di jalan setapak tempat dia berdiri sekarang sambil tersenyum. Gurat lelah jelas terlihat dari wajah ayu ibunya yang baru pulang berjualan di pasar kota. Dia merindukan itu. Ilalang menghela napas panjang lalu kembali berjalan pulang tergesa karena dia tak mau terlambat bersiap ke sekolah.
“Alang, ini uang sekolahmu. Bilang ke pak Sudi, sisanya Simbah bayar bulan depan,” kata simbahnya seraya mengangsurkan lembaran biru ke tangan Ilalang. Dia tahu uang itu jauh dari kata cukup. Sebenarnya Ilalang malu selalu menunggak uang sekolah, meski dia sudah berusaha keras membantu simbah berjualan setiap sepulang sekolah.
“Iya, Nek, nanti Alang bilang ke pak Sudi. Uang sekolah Gendhis bagaimana?” Ilalang memasukkan uang itu ke dalam tas lusuhnya. Gendhis yang sedang menalikan sepatunya menoleh.
“Sudah bayar. Bulan lalu Gendhis menang lomba puisi, kan. Uangnya langsung diambil Bu Ratna buat bayaran,” sahutnya agak sendu. Ilalang tahu adiknya  ingin sekali membeli sepatu baru dengan uang itu.
“Sudah. Kalian cepat berangkat nanti terlambat. Jangan lupa titipan jajanan ke kantin sekolah,” kata simbah sambil menyerahkan bungkusan berisi ketimus dan keripik talas.
Setelah berpamitan kedua kakak beradik itu berangkat menyusuri jalan setapak. Rumah mereka memang sedikit di atas bukit yang dikelilingi padang ilalang dan pepohonan. Agak naik ke atas sudah pinggiran hutan. Dulunya tanah di sekitar rumah adalah milik mereka, namun kini mereka hanya jadi pengelola sekaligus penjaganya. Sedikit demi sedikit tanah itu habis dijual dengan harga murah ke pak kades untuk biaya hidup mereka. Pak kades bermurah hati membiarkan sepetak tanah mereka tanami berbagai sayuran. Terkadang beliau juga memberikan beras atau minyak.
Hanya Ilalang yang tahu maksud dibalik kebaikan hati pak kades.

*****

Namanya Ilalang. Hanya 1 kata. Simbah yang memberikan nama itu, berharap cucunya setangguh, sekuat ilalang meski diinjak, dipotong atau dibakar akan selalu tumbuh kembali. Tegak membusungkan dada menantang matahari dan kerasnya hidup agar bisa membanggakan keluarganya yang miskin. Sejauh Ilalang ingat, sejak kecil tidak pernah sekalipun dia menjalani hidup dengan mudah.
Dari kecil dia selalu dihina teman sebayanya karena tidak punya ayah. Sering menjambak rambut kepangnya, melempar tas sekolahnya ke sawah atau menumpahkan air ke atas kepalanya. Setiap kali dia pulang sambil menangis, ibu atau simbahnya hanya memeluk dan mengusap punggungnya pelan. Hidupnya makin berat ketika Gendhis lahir, tanpa bapak. Waktu itu dia masih terlalu kecil untuk memahaminya.
Saat dia berumur 7 tahun dan Gendhis 1 tahun, tiba – tiba ada kabar ibunya meninggal kecelakaan. Simbah diantar pak kades pergi ke kota saat itu, tapi pulang besoknya tanpa membawa mayat ibunya. Biaya ambulan mahal, begitu kata simbahnya. Sampai sekarang dia maupun adiknya tidak pernah tahu dimana ibunya dimakamkan. Lupa jalannya, setiap dia tanya ke simbah maupun pak kades.
“Mbak, ngelamunin opo sih?” tegur Gendhis menyodok lengannya pelan membuyarkan lamunan Ilalang.
Ndak ada,” sahut Ilalang singkat.
“Mikir uang sekolah? Sebenarnya uangku masih sisa. Ya, emang ndak bisa nyukupi tapi paling tidak buat nambahi,” kata Gendhis. Ilalang menggeleng sambil tersenyum ke adiknya. Kadang Ilalang berpikir kalau adiknya itu lebih pantas menyandang nama Ilalang.
Memang sikapnya yang baik, ramah, murah senyum itu sama dengan arti namanya, Gendhis. Gula. Manis. Tetapi, dia juga tangguh bahkan lebih galak dari dirinya. Buktinya tidak ada yang berani mengejek Gendhis.
“Nglamun lagi, toh. Kalau bukan uang sekolah, apa tawaran Pak Kades tempo hari?”
Ilalang terkesiap. Berusaha memasang muka datar dia melirik adikknya.
“Tawaran yang mana?”
“Aku denger Mbak, waktu orang itu nawarin Mbak buat jadi istri ketiganya. Aku ndak bilang ke Simbah, kok,” sahut Gendhis enteng. Kaki kecil berbalut sepatu coklat penuh tambalan itu menendang – nendang kerikil di depannya.
“Kalau Mbak terima tawaran itu, kita ndak usah khawatir ndak makan, ndak bisa bayar sekolah,” kata Ilalang. Sempat dia tergoda tawaran itu demi adik dan simbahnya. Tak apa dia mengorbankan diri menikah dengan orang yang pantas jadi bapaknya itu.
“Aku milih ndak usah sekolah Mbak. Kalau lapar bisa nyari umbi ke hutan. Jangan mau Mbak, pokoknya jangan! Kita masih bisa jual kayu bakar, arang, ayam, jamur atau apa saja di hutan. Kalau Mbak terima tawaran itu, sekalian saja jual diri,” dengus Gendhis bernada kesal. Kakinya terhenti. Menarik pelan lengan kakaknya lalu menatap tajam. Dia sangat paham apa yang ada di pikiran kakaknya itu. Kalau sampai hal itu terjadi, dia memilih melompat ke laut biar dimakan ikan hiu.
“Iya, Mbak juga ndak mau. Lain kali jangan suka nguping,” kata Ilalang menjewer pelan kuping Gendhis yang terkekeh pelan.
“Kedengeran Mbak, ndak nguping. Lagian kan kalian ngobrolnya deket kandang ayam, sebelah kakus.”

 Ditepuknya pelan punggung Ilalang. Umur mereka yang berbeda 6 tahun, tapi  tinggi mereka hampir sama padahal Gendhis masih duduk di kelas 6 SD. Perawakannya yang tinggi dibanding teman sebayanya itu mungkin yang membuatnya ditakuti. Bahkan teman sekelas Ilalang juga segan pada adiknya itu.


 to be continue


1 comment: