Pic by pinterest |
Kabut
masih menggantung di antara dedaunan, angin menghantarkan dingin menusuk tulang
rusuk. Matahari pagi bahkan masih enggan muncul di ujung timur gunung yang
terlihat jelas dari tempatnya berdiri. Pukul 5 pagi. Sayup ayat suci terlantun
merdu dari surau yang berada di sudut kampung, 1 kilo dari gubuk reyotnya.
Sekali
lagi Ilalang merapatkan sweater merah pudar yang sudah lusuh ke tubuh kurusnya,
sebelum akhirnya dia berjalan turun menyusuri setapak menuju sumber air di
bawah sana. Rutinitas pagi harinya. Membawa tempayan untuk wadah air. Dia akan
3 sampai 5 kali bolak balik ke sumber air untuk mengambil air sampai tempayan
besar di rumahnya penuh. Belum lagi kalau terpeleset, masih untung kalau hanya
air tumpah atau badannya yang lecet, kalau tempayan tembikar itu sampai jatuh
dan pecah, akan ada pukulan sapu lidi dari simbahnya. Karena itu dia berjalan
pelan, nyaris mengalahkan keong.
Ilalang
berhenti sejenak saat perlahan sinar keemasan menyembul dari balik gunung. Dari
dulu dia suka sekali matahari pagi. Waktu kecil, saat matahari terbit dia akan
menemukan sosok ibunya berjalan di jalan setapak tempat dia berdiri sekarang
sambil tersenyum. Gurat lelah jelas terlihat dari wajah ayu ibunya yang baru
pulang berjualan di pasar kota. Dia merindukan itu. Ilalang menghela napas
panjang lalu kembali berjalan pulang tergesa karena dia tak mau terlambat
bersiap ke sekolah.
“Alang,
ini uang sekolahmu. Bilang ke pak Sudi, sisanya Simbah bayar bulan depan,” kata
simbahnya seraya mengangsurkan lembaran biru ke tangan Ilalang. Dia tahu uang
itu jauh dari kata cukup. Sebenarnya Ilalang malu selalu menunggak uang
sekolah, meski dia sudah berusaha keras membantu simbah berjualan setiap
sepulang sekolah.
“Iya,
Nek, nanti Alang bilang ke pak Sudi. Uang sekolah Gendhis bagaimana?” Ilalang
memasukkan uang itu ke dalam tas lusuhnya. Gendhis yang sedang menalikan
sepatunya menoleh.
“Sudah
bayar. Bulan lalu Gendhis menang lomba puisi, kan. Uangnya langsung diambil Bu
Ratna buat bayaran,” sahutnya agak sendu. Ilalang tahu adiknya ingin sekali membeli sepatu baru dengan uang
itu.
“Sudah.
Kalian cepat berangkat nanti terlambat. Jangan lupa titipan jajanan ke kantin
sekolah,” kata simbah sambil menyerahkan bungkusan berisi ketimus dan keripik
talas.
Setelah
berpamitan kedua kakak beradik itu berangkat menyusuri jalan setapak. Rumah
mereka memang sedikit di atas bukit yang dikelilingi padang ilalang dan
pepohonan. Agak naik ke atas sudah pinggiran hutan. Dulunya tanah di sekitar
rumah adalah milik mereka, namun kini mereka hanya jadi pengelola sekaligus
penjaganya. Sedikit demi sedikit tanah itu habis dijual dengan harga murah ke
pak kades untuk biaya hidup mereka. Pak kades bermurah hati membiarkan sepetak
tanah mereka tanami berbagai sayuran. Terkadang beliau juga memberikan beras
atau minyak.
Hanya
Ilalang yang tahu maksud dibalik kebaikan hati pak kades.
*****
Namanya
Ilalang. Hanya 1 kata. Simbah yang memberikan nama itu, berharap cucunya
setangguh, sekuat ilalang meski diinjak, dipotong atau dibakar akan selalu
tumbuh kembali. Tegak membusungkan dada menantang matahari dan kerasnya hidup
agar bisa membanggakan keluarganya yang miskin. Sejauh Ilalang ingat, sejak
kecil tidak pernah sekalipun dia menjalani hidup dengan mudah.
Dari
kecil dia selalu dihina teman sebayanya karena tidak punya ayah. Sering
menjambak rambut kepangnya, melempar tas sekolahnya ke sawah atau menumpahkan
air ke atas kepalanya. Setiap kali dia pulang sambil menangis, ibu atau
simbahnya hanya memeluk dan mengusap punggungnya pelan. Hidupnya makin berat ketika
Gendhis lahir, tanpa bapak. Waktu itu dia masih terlalu kecil untuk
memahaminya.
Saat
dia berumur 7 tahun dan Gendhis 1 tahun, tiba – tiba ada kabar ibunya meninggal
kecelakaan. Simbah diantar pak kades pergi ke kota saat itu, tapi pulang
besoknya tanpa membawa mayat ibunya. Biaya ambulan mahal, begitu kata
simbahnya. Sampai sekarang dia maupun adiknya tidak pernah tahu dimana ibunya
dimakamkan. Lupa jalannya, setiap dia tanya ke simbah maupun pak kades.
“Mbak,
ngelamunin opo sih?” tegur Gendhis
menyodok lengannya pelan membuyarkan lamunan Ilalang.
“Ndak ada,” sahut Ilalang singkat.
“Mikir
uang sekolah? Sebenarnya uangku masih sisa. Ya, emang ndak bisa nyukupi tapi paling tidak buat nambahi,” kata Gendhis.
Ilalang menggeleng sambil tersenyum ke adiknya. Kadang Ilalang berpikir kalau
adiknya itu lebih pantas menyandang nama Ilalang.
Memang
sikapnya yang baik, ramah, murah senyum itu sama dengan arti namanya, Gendhis.
Gula. Manis. Tetapi, dia juga tangguh bahkan lebih galak dari dirinya. Buktinya
tidak ada yang berani mengejek Gendhis.
“Nglamun
lagi, toh. Kalau bukan uang sekolah,
apa tawaran Pak Kades tempo hari?”
Ilalang
terkesiap. Berusaha memasang muka datar dia melirik adikknya.
“Tawaran
yang mana?”
“Aku
denger Mbak, waktu orang itu nawarin Mbak buat jadi istri ketiganya. Aku ndak bilang ke Simbah, kok,” sahut
Gendhis enteng. Kaki kecil berbalut sepatu coklat penuh tambalan itu menendang
– nendang kerikil di depannya.
“Kalau
Mbak terima tawaran itu, kita ndak
usah khawatir ndak makan, ndak bisa bayar sekolah,” kata Ilalang.
Sempat dia tergoda tawaran itu demi adik dan simbahnya. Tak apa dia
mengorbankan diri menikah dengan orang yang pantas jadi bapaknya itu.
“Aku
milih ndak usah sekolah Mbak. Kalau
lapar bisa nyari umbi ke hutan. Jangan mau Mbak, pokoknya jangan! Kita masih
bisa jual kayu bakar, arang, ayam, jamur atau apa saja di hutan. Kalau Mbak
terima tawaran itu, sekalian saja jual diri,” dengus Gendhis bernada kesal.
Kakinya terhenti. Menarik pelan lengan kakaknya lalu menatap tajam. Dia sangat
paham apa yang ada di pikiran kakaknya itu. Kalau sampai hal itu terjadi, dia
memilih melompat ke laut biar dimakan ikan hiu.
“Iya,
Mbak juga ndak mau. Lain kali jangan
suka nguping,” kata Ilalang menjewer pelan kuping Gendhis yang terkekeh pelan.
“Kedengeran
Mbak, ndak nguping. Lagian kan kalian
ngobrolnya deket kandang ayam, sebelah kakus.”
Ditepuknya pelan punggung Ilalang. Umur mereka
yang berbeda 6 tahun, tapi tinggi mereka
hampir sama padahal Gendhis masih duduk di kelas 6 SD. Perawakannya yang tinggi
dibanding teman sebayanya itu mungkin yang membuatnya ditakuti. Bahkan teman
sekelas Ilalang juga segan pada adiknya itu.
Keren ... ditunggu lanjutannya
ReplyDelete